Proses
dan Faktor-Faktor Belajar
Dinda Dewi Lestari
12511150
Hilma Nursela
Gantriani 13511388
Kerenhapukh
13511934
Mico Abraham
14511466
Panca Junior
Maihami 15511488
Revi Ariesti
16511016
PSIKOLOGI UMUM
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2011
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES BELAJAR DAN HASIL BELAJAR
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES BELAJAR DAN HASIL BELAJAR
A. Faktor
yang berpengaruh
Dalam proses belajar perlu kita mengenal input (
individu yang akan melakukan proses belajar ) dan factor-faktor yang
berpengaruh dalam proses belajar agar tercapai hasil belajar (output ) seperti
yang diharapkan. Jadi proses yang berpengaruh adalah :
1. INTERNAL
Faktor
yang berasal dari diri individu meliputi faktor:
Ø Fisiologis
: Kondisi jasmani, fungsi alat indera, saraf sentral, dan sebagainya.
Ø Psikologis
: Minat, motivasi, emosi, intelegensi, bakat, dan sebagainya.
2. EKSTERNAL
Faktor
diluar diri individu yang mempengaruhi proses belajar dan meliputi faktor:
Ø Sosial/Lingkungan,
meliputi pola asuh dalam keluarga, dukungan dari lingkungan di sekitar individu
Ø Instrumental, meliputi alat perlengkapan belajar,
ruang belajar, ventilasi. penerangan, cuaca, materi yang diberikan, dan
peraturan yang mengikat.
B.
Proses – proses belajar
Faktor-faktor
yang positif akan mendukung output proses belajar (hasil belajar atau prestasi
) yang positif. Sebaliknya factor yang negative akan menyebabkan output hasil
belajar yang negative. Ada tiga
pokok pandangan mengenai proses terjadinya belajar, yaitu :
1.
Trial
and Error Learning, yaitu proses belajar yang terjadi melalui coba-coba
(trial) dan kesalahan (error). Tokoh dari teori ini adalah Thorndike. Thorndike
membuat 3 hukum primer dalam proses belajar “Trial and Error”, yaitu :
a.
The Law of Effect (Hukum Akibat)
b.
The Law of Exercise (Hukum Latihan)
c. The Law
of Readiness (Hukum Kesiapan)
Thorndike
juga mengemukakan 5 hukum sekunder, yaitu :
1.
Law of Multiple Responese (Hukum
Reaksi Ganda)
2.
Partial Activity
3.
Attitude
4.
Reaction by Analogy
5.
The Law of Associative Sheffting
2.
Insight
Learning, yaitu proses belajar yang diawali dengan proses trial dan dan error,
tetapi dari peristiwa tersebut akhirnya dicapai sutu pemahaman. Tokoh dari
teori ini adalah Kohler dan Koffka.
3.
Conditioning
Learning, yaitu proses belajar melalui pengkondisian yang menitik beratkan pada belajar asosiatif. Tokoh dari teori ini adalah Pavlov dan Skinner.
a.
Pengkondisian
klasikal ( Classical Conditioning / Respondent Conditioning )
Pengkondisian klasik disebut respondent conditioning karena organism
hanya semata-mata sebagai penerima proses pengkondisian, dengan kata lain yang
mengontrol pengkondisian adalah eksperimenter.
·
Dasar-dasar
pengkondisian klasik
ü Inti dari pengkondisian klasikal memasangkan 2
stimilus
ü Stimulus yang pertama disebut unconditioned stimulus
(US) atau stimulus tak bersyarat yaitu stimulus yang menimbulkan respon yang
sifatnya alami.
·
Teori
pengkondisian klasik
Teori pengkondisian klasik menjelaskan dan memberikan
suatu aturan tertentu dalam pengkondisian klasik, serta menjelaskan proses yang
terjadi.
·
Contiguity
/ interfal pemasangan
Interfal pemasangan juga berpengaruh dalam kecepatan
proses belajar asosiasi. Ada lima metode dalam memasangkan CS dan US, yaitu :
ü Simultaneous Conditioning, CS dan US diberikan serentak pada saat yang sama.
ü Delayed Conditioning, CS dahulu diberikan baru kemudian US dan berakhir
bersama-sama
ü Trace conditioning, CS diberikan lebih dahulu, diberi tenggang waktu,
baru kemudian US di berikan.
ü Backward Conditioning, US diberikan lebih dahulu baru kemudian diikuti CS.
ü Temporal Conditioning, penyajian CS dan US tidak tentu / bervariasi,
kadang-kadang US dahulu, kadang-kadang CS dahulu.
·
Pemadaman
( extinction ) dan pemulihan spontan ( spontaneous recovery )
Para ahli tidak hanya berhenti pada masalah pemadaman
ini karena pemadaman hanya suatu proses belajar yang baru . Hal tersebut dapat
dibuktikan melalui dua cara, yaitu :
ü Spontaneous recovery
ü Proses Reconditioning ( pengkondisian kembali )
·
Generalisasi
Stimulus dan Diskriminasi
Pavlov
mengemukakan bahwa anjing yang berliur saat di bunyikan bel, juga akan
mengeluarkan air liur ( meskipun tidak terlalu banyak ) saat anjing itu
mendengar bunyi bel. Hal tersebut menunjukkan bahwa anjing telah melakukan
generalisasi bunyi bel dengan bunyi -bunyian lain meskipun dapat munculnya
respon bersyarat.
·
Aplikasi
pengkondisian klasikal
Proses
belajar dengan pengkondisian klasik seperti pada percobaan Pavlov sulit
diterapkan pada kehidupan manusia. Tetapi proses pengkondisian klasik pada
manusia dapat kita tinjau melalui respon emosional yang terkondisi terhadap
stimulus tertentu.
b.
Operan atau Pengkondisian Instrumental (Operan Conditioning /
instrumental conditioning )
Pengkondisian operan disebut juga dengan
pengkondisian instrumental karena inti dari proses belajar pengkondisian
instrumental terletak pada penggunaan prilaku organisme sebagai alat atau
instrument untuk mengubah lingkungan sehingga menghambat perilaku yang
diinginkan dan memperlancar perilaku yang tidak diinginkan. Untuk memahami pengkondisian operan kita perlu membedakan apa itu
“Prilaku Respon dan Operan”.
ü
Perilaku Respon,
respon langsung pada stimulus. Seperti akomodasi bola mata sebagai respon pada
kilatan cahaya atau hentakkan kaki sebagai respon pada pukulan di tempurung
lutut.
ü
Perilaku Operan,
dikendalikan oleh akibat dari perilaku respon. Bila akibat dari perilaku respon
itu positif, maka kita akan cenderung mengulanginnya. Sebaliknya bila akibat
dari perilaku respon itu negative, maka kita cenderung tidak mengulanginya.
Kekuatan operan (akibat adanya reinforcement) dapat diukur melalui:
1.
Laju respon (rate of respon), artinya makin
sering respon terjadi selama interval
waktu tertentu, makin besar kekuatan
operannya.
2.
Jumlah total repon selama pemadaman (total number of res-ponses during
extinction), artinya penguatan tunggal dapat menghasilkan
kekuatan operan yang cukup besar apabila selama pemadaman respon tetap
berlangsung.
C.
Teori Dalam
Belajar yang Berorientasi Behaviorisme
1.
Teori asosiasi
Penelitian
Thorndike terhadap tingkah laku biantang mencerminkan prinsip dasar proses
belajar yang dianut oleh Thorndike, yaitu bahwa dasar dari belajar adalah
asosiasi. Menurutnya, dari berbagai situasi yang diberikan seekor hewan akan
memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada
kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon tertentu.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya :
·
Law of
Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka
hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak
memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang
terjadi antara Stimulus- Respons.
·
Law of
Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu
berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit
ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.
·
Law of
Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin
bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang
atau tidak dilatih.
2.
Teori
fungsionalisme
Mempelajari psikis tidak bertitik tolak pada
komposisis atau struktur mental yang tediri dari elemen-elemen, tetapi dari
proses mental yang mengarah pada akibat-akibat yang praktis. Salah satu teori Fungsionalisme yang terkenal adalah
teori mengenai emosi. Psikologi
mengenai emosi pertama yang mengasumsikan keberadaan emosi diskrit yang
memiliki naluriah dasar dan dipisahkan dari perasaan tertentu.
Ø
Teori-Teori Emosi
Walgito, 1997 (dalam DR. Nyayu Khodijah), mengemukakan
tiga teori emosi, yaitu:
ü
Teori Sentral
Menurut teori ini, gejala
kejasmanian merupakan akibat dari emosi yang dialami oleh individu; jadi
individu mengalami emosi terlebih dahulu baru kemudian mengalami
perubahan-perubahan dalam kejasmaniannya.
ü
Teori Periferal
Teori ini dikemukakan oleh seorang
ahli berasal dari Amerika Serikat bernama William James (1842-1910). Menurut teori ini justru
sebaliknya, gejala-gejala kejasmanian bukanlah merupakan akibat dari emosi yang
dialami oleh individu, tetapi malahan emosi yang dialami oleh individu
merupakan akibat dari gejala-gejala kejasmanian.
ü
Teori
Kepribadian
Menurut teori ini, emosi
ini merupakan suatu
aktifitas pribadi, dimana pribadi ini tidak dapat dipisah-pisahkan dalam
jasmani dan psikis sebagai dua substansi yang terpisah. Karena
itu, maka emosi meliputi pula perubahan-perubahan kejasmanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar