Konsep Sehat
Dr. Kartini Kartono
mengatakan bahwa orang yang memiliki mental sehat memilki sifat-sifat khas,
antara lain mempunyai kemampuan untuk bertindak secara efisien memiliki
tujuan-tujuan hidup yang jelas memiliki konsep diri yang sehat
memiliki koordinasi antara segenap potensi dengan usaha-usaha nya,memiliki
regulasi diri dan memiliki batin yang selalu tenang.
Jadi, orang yang sehat
mentalnya dapat melakukan adaptasi (penyesuaian diri) dengan lingkungannya,
dengan mudah dapat menempatkan diri pada perubahan sosial, selalu aktif
berpartisipasi dan dapat merasakan kepuasan atas terpenuhi kebutuhannya.
Sehat sendiri merupakan
kondisi dimana fisik (jasmani), mental (rohani) baik itu pikiran, emosi, dll,
dan sosial dalam kondisi yang normal (seperti orang pada umumnya), stabil,
serta dapat mengikuti kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang ada di
masyarakat.
Sehat merupakan
sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit akan tetapi jugameliputi seluruh aspek
kehidupan manusia yang meliputi aspek fisik, emosi, sosial dan
spiritual.Menurut
WHO (1947)
Sehat itu sendiri dapat diartikan bahwa suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental
dan sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit
atau kelemahan (WHO,1947)
Kesehatan
manusia dipengaruhi oleh 6 faktor yaitu :
1. Udara
2. Air
3. Makanan dan Minuman
4. Keseimbangan Emosi
5. Olahraga Teratur
6. Istirahat Cukup
Apabila ke enam faktor tersebut terganggu atau
bermasalah maka otomatis kesehatan kita juga akan terganggu , mau atau tidak
mau, sadar atau tidak kita hidup dizaman penuh polusi dari zat kimia baik itu
air, udara maupun makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari.
Sejarah Perkembangan Kesehatan Mental
Perkembangan
kesehatan mental dipengaruhi oleh dua tokoh, yaitu Dorothea Lynde Dix dan
Clifford Whittingham Beers. Kedua tokoh ini banyak mendedikasikan hidupnya
dalam bidang pencegahan gangguan mental dan pertolongan bagi orang-orang miskin
dan lemah. Dorthea Lynde Dix lahir pada tahun 1802 dan meninggal dunia pada
tanggal 17 Juli 1887. Ia adalah seorang guru di Massachussets, yang menaruh
perhatian terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental. Sebagian
perintis (pioneer), selama 40 tahun Ia berjuang untuk memberikan pertolongan
terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental agar dapat diperlakukan
secara lebih manusiawi.
Usahanya
mula-mula diarahkan pada para pasien di rumah sakit. Kemudian diperluas kepada
para penderita gangguan mental yang dikurung di penjara. Pekerjaan Dix ini
merupakan faktror penting dalam membangun kesadaran masyarakat umum untuk
memperhatikan kebutuhan para penderita gangguan mental. Berkat usahanya yang
tak kenal lelah, di Amerika serilkat didirikan 32 rumah sakit jiwa, Ia layak
mendapat pujian sebagai salah seorang wanita besar di abad 19.
Dedikasi
Beers yang begitu kuat dalam kesehatan mental, dipengaruhi juga oleh pengalamannya
sebagai pasien dibeberapa rumah sakit jiwa yang berbeda. Selama di rumah sakit,
Ia mendapatkan pelayanan atau pengobatan yang keras dan kasar. Kondisi seperti
ini terjadi, karena pada masa itu belum ada perhatian terhadap masalah gangguan
mental, apalagi pengobatannya.
Setelah dua tahun mendapatkan perawatan dirumah sakit
Ia mulai memperbaiki dirinya, dan selama tahun terakhirnya sebagai pasien, Ia
mulai mengembangkan gagasan untuk membuat suatu gerakan untuk melindungi
orang-orang yang mengalami gangguan mental.
Setelah Ia kembali dalam kehidupan yang normal (sembuh
dari penyakitnya), pada tahun 1908 Ia menindaklanjuti gagasannya dengan
mempublikasikan sebuah tulisan autobiografinya sebagai mantan penderita
gangguan mental, yang berjudul ”A Mind That Found It Self”.
Kehadiran buku ini disambut baik oleh Willian james, sebagai seorang pakar
psikologi. Dalam buku ini, Ia memberikan koreksi terhadap program pelayanan,
perlakuan atau ”treatment” yang diberikan kepada para pasien
di rumah sakit – rumah sakit yang dipandangnya kurang manusiawi. Disamping itu
Ia melupakan reformasi terhadap lembaga yang diberikan perawatan gangguan
mental
PENDEKATAN KESEHATAN MENTAL
Orientasi Klasik
Orientasi
klasik yang umumnya digunakan dalam kedokteran termasuk psikiatri mengartikan
sehat sebagai kondisi tanpa keluhan, baik fisik maupun mental. Orang yang sehat
adalah orang yang tidak mempunyai keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya.
Sehat fisik artinya tidak ada keluhan fisik. Sedang sehat mental artinya tidak ada
keluhan mental. Dalam ranah psikologi, pengertian sehat seperti ini banyak
menimbulkan masalah ketika kita berurusan dengan orang-orang yang mengalami
gangguan jiwa yang gejalanya adalah kehilangan kontak dengan realitas.
Orang-orang seperti itu tidak merasa ada keluhan dengan dirinya meski hilang
kesadaran dan tak mampu mengurus dirinya secara layak. Pengertian sehat mental
dari orientasi klasik kurang memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi.
Mengatasi kekurangan itu dikembangkan pengertian baru dari kata ‘sehat’. Sehat
atau tidaknya seseorang secara mental belakangan ini lebih ditentukan oleh
kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dapat digolongkan sehat mental. Sebaliknya
orang yang tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak sehat
mental.
Orientasi Penyesuaian Diri
Dengan
menggunakan orientasi penyesuaian diri, pengertian sehat mental tidak dapat
dilepaskan dari konteks lingkungan tempat individu hidup. Oleh karena kaitannya
dengan standar norma lingkungan terutama norma sosial dan budaya, kita tidak
dapat menentukan sehat atau tidaknya mental seseorang dari kondisi kejiwaannya
semata. Ukuran sehat mental didasarkan juga pada hubungan antara individu dengan
lingkungannya. Seseorang yang dalam masyarakat tertentu digolongkan tidak sehat
atau sakit mental bisa jadi dianggap sangat sehat mental dalam masyarakat lain.
Artinya batasan sehat atau sakit mental bukan sesuatu yang absolut. Berkaitan
dengan relativitas batasan sehat mental, ada gejala lain yang juga perlu
dipertimbangkan. Kita sering melihat seseorang yang menampilkan perilaku yang
diterima oleh lingkungan pada satu waktu dan menampilkan perilaku yang
bertentangan dengan norma lingkungan di waktu lain. Misalnya ia melakukan
agresi yang berakibat kerugian fisik pada orang lain pada saat suasana hatinya
tidak enak tetapi sangat dermawan pada saat suasana hatinya sedang enak. Dapat
dikatakan bahwa orang itu sehat mental pada waktu tertentu dan tidak sehat
mental pada waktu lain. Lalu secara keseluruhan bagaimana kita menilainya?
Sehatkah mentalnya? Atau sakit? Orang itu tidak dapat dinilai sebagai sehat
mental dan tidak sehat mental sekaligus.
Dengan
contoh di atas dapat kita pahami bahwa tidak ada garis yang tegas dan universal
yang membedakan orang sehat mental dari orang sakit mental. Oleh karenanya kita
tidak dapat begitu saja memberikan cap ‘sehat mental’ atau ‘tidak sehat mental’
pada seseorang. Sehat atau sakit mental bukan dua hal yang secara tegas
terpisah. Sehat atau tidak sehat mental berada dalam satu garis dengan derajat
yang berbeda. Artinya kita hanya dapat menentukan derajat sehat atau tidaknya
seseorang. Dengan kata lain kita hanya bicara soal ‘kesehatan mental’ jika kita
berangkat dari pandangan bahwa pada umumnya manusia adalah makhluk sehat
mental, atau ‘ketidak-sehatan mental’ jika kita memandang pada umumnya manusia
adalah makhluk tidak sehat mental. Berdasarkan orientasi penyesuaian diri,
kesehatan mental perlu dipahami sebagai kondisi kepribadian seseorang secara
keseluruhan. Penentuan derajat kesehatan mental seseorang bukan hanya
berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan proses pertumbuhan dan
perkembangan seseorang dalam lingkungannya.
Orientasi Pengembangan Potensi
Seseorang
dikatakan mencapai taraf kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan
untuk mengembangkan potensialitasnya menuju kedewasaan, ia bisa dihargai oleh
orang lain dan dirinya sendiri. Dalam psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata
yang menjadi pengendali utama dalam setiap tindakan dan perbuatan seseorang
bukanlah akal pikiran semata-mata, akan tetapi yang lebih penting dan
kadang-kadang sangat menentukan adalah perasaan. Telah terbukti bahwa tidak
selamanya perasaan tunduk kepada pikiran, bahkan sering terjadi sebaliknya,
pikiran tunduk kepada perasaan. Dapat dikatakan bahwa keharmonisan antara
pikiran dan perasaanlah yang membuat tindakan seseorang tampak matang dan
wajar.
Sehingga
dapat dikatakan bahwa tujuan Hygiene mental atau kesehatan mental adalah mencegah
timbulnya gangguan mental dan gangguan emosi, mengurangi atau menyembuhkan
penyakit jiwa serta memajukan jiwa. Menjaga hubungan sosial akan dapat
mewujudkan tercapainya tujuan masyarakat membawa kepada tercapainya
tujuan-tujuan perseorangan sekaligus. Kita tidak dapat menganggap bahwa
kesehatan mental hanya sekedar usaha untuk mencapai kebahagiaan masyarakat,
karena kebahagiaan masyarakat itu tidak akan menimbulkan kebahagiaan dan
kemampuan individu secara otomatis, kecuali jika kita masukkan dalam pertimbangan
kita, kurang bahagia dan kurang menyentuh aspek individu, dengan sendirinya
akan mengurangi kebahagiaan dan kemampuan sosial.
SUMBER:
Siswanto. 2007. Kesehatan mental Konsep, Cakupan dan
Perkembangannya. Jakarta. Andi publisher
http://blogkesehatanmental.wordpress.com/2011/03/29/sejarah-perkembangan-kesehatan-mental/
http://id.scribd.com/doc/8343666/Konsep-Sehat